Bagi Bangsa Indonesia, bulan Agustus memiliki sakralitas yang sangat tinggi. Bulan Agustus adalah momentum merayakan kemerdekaan bangsa Indonesia, setelah lepas dari cengkeraman penjajah. Tanpa harus memilah dan memilih segmen sosial, perhelatan Agustusan mewujud dalam aneka rupa hajatan riang gembira ala rakyat. Di sejumlah kompleks perumahan tampak aneka ragam perlombaan. Mulai dari lomba lari karung, tarik tambang, makan kerupuk dan lain sebagainya.
Tak kalah serunya, di berbagai pelosok kampung juga digelar hal serupa. Bahkan lebih seru. Sebab suasana kampung yang selama ini tampak sepi, seketika begitu meriah. Rupanya ada lomba panjat pinang, tarik tambang, hingga karaoke kelas Electone. Begitulah ekspresi anak bangsa setiap kali bulan Agustus itu tiba.
Tapi untuk tahun ini, di Sulawesi Barat, kemeriahan itu sontak terhenti, setelah munculnya protes massa di Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Barat. Ini dipicu oleh lahirnya hasil lokakarya muatan lokal tentang penggunaan bahasa lokal di sekolah-sekolah. Awalnya, lokakarya ini tidak mendapatkan sorotan publik. Namun tak disangka, di antara poin krusial yang dihasilkan adalah tentang bahasa Pitu Ulunna Salu (PUS). Dan inilah yang menyulut emosi massa hingga menggeser otoritas akademik ke ranah persekusi.
Dari 8 poin dasar pemikiran yang mereka rumuskan itu, terdapat satu poin yakni pada poin 2: “Pemaparan Dr. Ramly, M.Hum yang mengemukakan hasil penelitian peneliti Jepang bernama Yamaguci yang memberi kesan bahwa kelompok di Pitu Ulunna Salu (PUS) tidak jelas dan tidak berwujud. Klaim ilmu dan anggapan masyarakat tidak sejalan.”
Sekedar untuk diketahui, ihwal bahasa PUS memang memiliki problem tersendiri. Sebab di Pitu Ulunna Salu (PUS) dikenal tiga jenis bahasa masing-masing. Pertama, Pa’nei yang disinyalir sebagai bahasa dari Torije’ne, istri dari Pongkapadang yang lazim digunakan di Lembang Tabulahan dan Aralle. Kedua, Pa’kao, disebut sebagai bahasa yang dibawa oleh Pongkapadang ketika melalui perjalanannya di Ulu Sa’dan. Bahasa ini lazim digunakan di Lembang Rantebulahan. Ketiga, bahasa campuran Pa’nei dan Pa’kao yang digunakan oleh Lembang Mambi, Bambang, dan Tabang.”
Sekelumit persoalan yang tersaji di atas menunjukkan adanya sejumlah persoalan kebudayaan, khususnya di Sulawesi Barat. Sebab hingga detik ini persoalan tersebut belumlah benar-benar usai. Kendati pihak pemerintah telah berkomitmen untuk melakukan revisi terhadap hasil lokakarya tersebut.
Di antara fakta yang mengemuka itu, terjadi di saat pelaksanaan diskusi bertajuk “Peran Pemuda Dalam Mengisi Kemerdekaan” yang digelar oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Mamuju, 20 Agustus 2018. Dalam diskusi tersebut, mencuat protes seorang anak muda yang tak ingin lagi disebut sebagai Mandar. Ia tetap kukuh untuk menancapkan identitasnya sebagai PUS, dan bukan Mandar. Padahal dari sisi historis, hadirnya Mandar tidak lepas dari konsensus 14 kerajaan. Tujuh kerajaan dari Pegunungan (Pitu Ulunna Salu) dan Tujuh kerajaan dari Pesisir (Pitu Ba’bana Binanga).
Idealnya, budaya dapat menampakkan diri dalam konfigurasi pluralistik. Dalam konsep pluralisme, keanekaragaman itu merupakan kekayaan yang patut dilestarikan dan dikembangkan secara kondusif. Pluralisme juga mengakui bahwa realitas itu tidak “tunggal”. Sehingga keanekaragaman budaya Indonesia tidak perlu disatukan. Dalam pengertian, pengembangan berbagai budaya itu tetap didasarkan kepada prinsip pluralistik.
Namun gagasan ini tidak sederhana. Sebab di lain sisi, tafsir tentang Mandar sebagai sebuah suku yang terhampar dari Paku (Perbatasan Polman-Pinrang) hingga Suremana (Perbatasan Pasangkayu-Palu) juga acapkali terkooptasi dalam tafsir-tafsir yang serba parsial. Untuk lepas dari belenggu tersebut, hak otonomi masing-masing dalam skala terkecil sekalipun, patut untuk tetap diapresiasi. Mengakui tafsir mandar di masing-masing wilayah merupakan bentuk konkrit terhadap gagasan tersebut.
Demikian halnya dalam konteks kerukunan umat beragama. Secara umum, keragaman tersebut masih berlangsung kondusif. Namun kita juga mengakui bahwa beberapa perbedaan dalam masyarakat bisa menjadi masalah dan memiliki potensi konflik yang cukup serius. Salah satunya adalah prasangka antar-kelompok agama.
Jika merujuk kepada indeks kerukunan beragama yang ada di Sulawesi Barat tahun 2016, kita telah berada pada angka 69,98 persen. Sementara untuk angka nasional, indeks kerukunan berada pada angka 75,47 persen. Naik 0,11 persen dari tahun sebelumnya. Yakni 75,36 persen. Dengan memperhatikan tiga variabel yaitu: aspek kesetaraan, toleransi, dan kerjasama. Pada aspek kesetaraan Indonesia berada pada angka 78,4 persen. dan aspek toleransi pada angka 76,5 persen.
Namun yang masih disayangkan, karena untuk aspek kerjasama lintas iman secara nasional masih berada pada angka 42 persen. Itu artinya, kita masih berada suasana kerukunan yang saling membisu. Belum pada dimensi kerukunan yang saling menopang satu dengan yang lainnya.
Dalam konteks yang terdekat di Sulawesi Barat, data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tahun 2017 menunjukkan potensi radikalisme berada pada angka 54, 5 persen. Jika ditilik dari indikator persepsi tentang radikalisme, ditemukan angka 57,86 persen memiliki kecenderungan berpikir radikal. Sementara dilihat dari tindakan, sebanyak 49, 5 persen pernah melakukan tindakan radikal. Adapun pada aspek sikap radikal, terdapat 54, 5 persen.
Dalam artian, sikap ini menunjukkan trend Setuju terhadap pemikiran maupun tindakan radikal. Angka ini menunjukkan bahwa tingkat potensi radikalisme berada pada kategori: potensi sedang menuju kuat.
Dalam kategori potensi sedang menuju kuat itu, sisi positif dari kemajemukan Sulawesi Barat disebabkan kentalnya dimensi penghormatan antar kelompok agama. Khususnya di kalangan para pemuka agama. Namun, bukan berarti segalanya telah usai dalam damai yang abadi. Sebab, jelang akhir Agustus lalu, penulis menggelar kegiatan Training Deradikalisasi Bagi Generasi Millenial, dengan menghadirkan 30 orang peserta dari berbagai latar belakang agama.
Pada kegiatan yang berlangsung dua hari itu, secara terbuka, kelompok Katholik mengaku masih sering dihinggapi kecurigaan terhadap kelompok lain, khususnya muslim (bukan Islam, red). Di antara alasan kecurigaan itu muncul disebabkan oleh dominasi sentiment Mayoritas dan Minoritas. Mereka merasa hidup tertekan dalam ruang pemetaan mayor-minor tersebut.
Memang diakui dalam perspektif structural, masih ditemukan hambatan yang cukup sigifikan. Berupa adanya sejumlah regulasi yang cenderung mengutamakan satu kelompok lalu mengabaikan kelompok lainnya. Belum lagi dengan pelabelan agama-agama local yang hendak diserupakan dengan agama resmi versi Negara.
Sementara di sisi kultur, harapan mendaratkan kemajemukan sebagai keniscayaan tidak berjalan sesuai harapan. Argumentasi ini kian menguat setelah dalam survey BNPT 2017, menunjukkan scoring terendah di bidang kearifan local. Pasalnya terdapat kontradiksi atas penerapan nilai-nilai kearifan local dengan sikap pelaku kearifan local. Ketika dimensi kearifan local dipandang mampu menghalau penetrasi negatif, justeru di saat yang sama menunjukkan adanya sikap merendahkan martabat kearifan local.
Belum lagi ketika mencermati lembaga-lembaga pendidikan yang cenderung permisif terhadap munculnya radikalisme. Berdasarkan hasil penelitian Lemaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2006, ditemukan 86 persen mahasiswa yang menolak ideology pancasila. Serta mendambakan hadirnya penerapan syariat Islam.
Untuk menjawab keresahan di atas, ada tiga model keragaman yang saat ini sedang dipraktekkan jamak oleh para penganut agama. Pertama, keterpaduan antara kesadaran makro dan mikro. Dalam kesadaran makro, manusia disadarkan pada hadirnya kekuatan magis. Sehingga, kesadaran mikro menjadi area penjabaran atas ketakukan pada kekuatan magis. Ringkasnya, tingkat ketakutan magis berdampak pada kehati-hatian dalam sikap dan tingkah laku.
Kedua, keterikatan pada lembaga. Jika pilihan pada model pertama menekankan aspek spiritualitas. Sementara model kedua ini berpijak pada penghormatan terhadap pranata social yang telah ada. Di sini, posisi lembaga atau majelis agama menempati ruangnya untuk memberikan pencerahan ke setiap umat/ jemaat.
Ketiga, model pembuktian antara sakralitas symbol dengan kekuatan menunjukkan kesadaran etik/ sikap positif dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mendaratkan hal tersebut di atas, beberapa hal dapat dilakukan sebagai upaya menemukan formulasi merawat kemajemukan. Pertama, Membentuk simpul-simpul kekuatan sinergi lintas sector. Pola ini, terbukti memiliki kekuatan positif, baik untuk meredam pemicu konflik. Maupun untuk menjalin sinergitas lintas agama.
Kedua, Mengintensifkan dialog lintas agama berbasis generasi Millenial. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, dialog lintas pemuka agama telah lama berlangsung intens. Namun yang belum lazim digerakkan adalah rekayasa cultural untuk membuka cakrawala kemajemukan di tengah generasi millennial, sebagai generasi yang dipandang rentan terhadap terpaan radikalisme.
Ketiga, melakukan gerakan intelektual lintas budaya dan Agama berbasis pluralisme. Hambatan terbesar bagi peradaban majemuk adalah kebodohan. Karena itu, langkah pencerahan yang telah berlangsung mesti digenjot menjadi bagian dari agenda nasional dan daerah.
Keempat, Membangun jejaring Literasi lintas budaya dan agama. Geliat literasi mestilah menjadi wahana positif untuk menciptakan etos belajar. Agar saling memahami makna sebuah perbedaan.
Penutup
Membangun harmoni lintas iman dan budaya merupakan proyek peradaban yang memerlukan durasi cukup panjang. Sebab objek utamanya ada pada perubahan paradigma untuk menerima perbedaan sebagai realitas tak terelakkan.
Terima kasih, Salama’ki,-
Bumi Manakarra, 6 September 2018
*Disampaikan dalam acara Sekolah
Harmoni Indonesia oleh Pusat
Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia
–Friedrich Ebert Stiftung Indonesia, di Mamuju
7 September 2018.-
Komentar