Kosa kata tidak selamanya berdiri tunggal dalam realitas. Ia diapit oleh area konteks karena memiliki cita rasa yang beraneka rupa. Istilah retorika misalnya, awalnya muncul memberi bobot dalam ruang komunikasi. Namun akhir-akhir ini, pilihan untuk menggunakan istilah retorika menimbulkan kekuatiran mendalam. Sebab telah terlampau dalam tertuduh sebagai modus kebohongan yang dibungkus ketulusan.
Salah satu elemen penting dalam sejarah peradaban manusia adalah bahasa. Sebab, manusia lahir dan tumbuh telah dikepung oleh bahasa. Ibarat menghirup udara, setiap saat kita menghirupnya tanpa bertanya dari mana asal-usul udara itu. Secara harfiah, bahasa adalah percakapan. Bahasa muncul ketika bunyi dan gagasan tampil secara bersamaan dalam suatu perbincangan atau pun wacana. Demikian ulasan Muhammad Sabri Ar dalam bukunya, Mengurai Kesenyapan Bahasa Mistik; Dari Filsafat Analitik ke Epistemologi Hudhuri (2017; 76).
Bahasa, kini, tidak lagi disorot sebagai objek kajian gramatikal semata. Bahasa telah melenggang dalam fungsinya yang sederhana, namun memiliki kekuatan luar biasa dampaknya. Fathurrokhman dkk (2016:2), menyebut bahasa sebagai kurir yang jujur. Tugasnya hanya menyampaikan pesan kepada pendengar. Tentu, sebagai kurir, bahasa tak begitu peduli dengan hakikat pesan yang dibawanya.
Dalam perkembangan selanjutnya, bahasa terus menunjukkan jejak-jejak raksasanya. Itu dimunculkan seiring dengan kian ramainya produksi simbol lewat kosakata yang beraneka rupa. Ketika manusia merasakan keberhasilan, bahasa memunculkan kata “senang”. Ketika dihadapkan pada pilihan sulit, bahasa menyajikan kata “bingung”. Ketika menganggap keberhasilan itu melibatkan kekuatan selain dirinya, bahasa menyodorkan kata “Syukur”. Hingga kepasrahan pada ketentuan Tuhan juga melahirkan jenis kata “Takdir”.
Namun jangan lupa, kata Fathurokhman, kekuatan bahasa tidak terletak pada dirinya sendiri. Sebab sangat tergantung pada siapa yang menggunakan. Teriakan akan pentingnya membela kaum miskin di kalangan aktivis memberi pesan lebih mendalam. Daripada seorang pejabat yang juga turut hadir meneriakkan pesan yang sama.
Teriakan sang Aktivis akan ditangkap sebagai pesan berbobot dan penuh empati. Sementara pada teriakan yang sama, namun diperankan oleh seorang pejabat, justeru berpotensi menghadirkan kesan tiada berguna. Toh, posisi sebagai seorang pejabat sesungguhnya telah menyiratkan pesan bahwa dia memiliki kekuatan yang lebih dahsyat dari sekadar teriakan sang aktivis tadi.
Untuk mengurai hal ini, pengguna bahasa menjadi pengatur utama antara pesan yang disampaikan dengan penerima pesan itu sendiri. Kecakapan pengguna bahasa akan sangat menentukan bobot respon yang akan dimunculkan penerima pesan kelak. Maka, jelmaan kedua setelah kurir, bahasa kini mewujud dalam rupa alat komunikasi. Di sini, bahasa tak hanya sekadar menjalankan tugasnya menyampaikan pesan. Sebab harus menimbang sejauh mana situasi yang dihadapi sebelum, saat dan setelah pesan itu tersampaikan.
Karena itu, dalam peristiwa komunikasi, dua peristiwa pokok penting menjadi perhatian. Pertama, tentang siapa yang menggunakan bahasa. Ini penting, sebab sebesar apapun kekuatan bahasa, namun tidak ditopang oleh kekuatan menentukan diksi yang tepat, hanya akan menghasilkan pesan hampa, tanpa makna.
Kedua, pembaca atau mitra tutur yang memungut dan menangkap bunyi pesan. Di sinilah aspek fundamental bahasa itu menemukan jelmaan ketiga. Yaitu ‘mengerti’. Bahasa tidak punya nyali apapun ketika disampaikan dengan kekuatan berapi-api, namun mendapat respon yang tak dimengerti.
Di sinilah beban terberat kita akhir-akhir ini. Sebab informasi yang datang silih berganti secara melimpah, meminjam istilah Jurgen Habermas, tidak disertai dengan apiknya kemasan pesan agar mudah dipahami, dimengerti dan dimaknai. Lihatlah betapa banyak pesan berupa ajakan positif yang berseliweran justeru kian membutakan publik. Tak terkecuali dengan jargon pesan politik, kini kian tak menemukan kekuatannya untuk membenamkan pesan itu secara massif di benak publik.
Apa yang keliru dari semua ini?
Ialah, karena pesan publik selalu hadir dengan sistem gagal produk. Bagaimana tidak, hari-hari ini kita menerima sajian pesan publik tanpa disertai kekuatan mengatur tata bahasa yang baik dan benar. Seorang pemimpin dalam setiap pidatonya, hanya mendapatkan sambutan tepuk tangan di awal pembicaraan dan saat mengakhiri sambutannya. Sementara, bila ditarik dalam sebuah pertanyaan kritis atas hasil dari pesan yang disampaikan, justeru melahirkan kesimpulan gamang. Bahwa sesungguhnya tidak ada bobot apa-apa di dalamnya.
Lebih fatal lagi, ketika pesan yang baik justeru mewabah menjadi diskursus perlawanan publik. Lagi-lagi karena di dalamnya ada gagap komunikasi yang mesti dipermak sebaik mungkin. Tapi akankah hal itu dapat dipermak di saat si pengguna bahasa juga sedang berada di puncak kekuatan hegemoni berbahasa?
Padahal, sejatinya, pesan seorang figur mestilah selalu mewariskan inspirasi bagi publik. Namun apa yang terjadi dalam realitas kekinian kita? Kekuatan bahasa seketika lumpuh di tangan orang yang sesungguhnya memiliki bahasa kekuatan.
Dampaknya, meminjam kata Rocky Gerung, pikiran-pikiran publik semakin hari kian tak menarik dipercakapkan. Bagaimana mungkin dapat menarik simpati untuk dipercakapkan di medan publik? Toh, sang penyampai pesan telah lebih awal gagal total menyajikan diksi dan intonasi yang meyakinkan nalar publik.
Maka kekuatan bahasa hanya akan berlaku jika didorong oleh bahasa kekuatan. Puisi yang menggetarkan jiwa hadir dari pujangga yang cakap memainkan intonasi. Pertandingan bola kian menegangkan, karena komentator yang turut memainkan kata-kata. Adapun pidato yang baik, hanya akan muncul ketika dilakonkan oleh mereka yang punya tatanan berpikir yang jernih. Sebaliknya, kekacauan alur percakapan publik, itu dikarenakan adanya problem neurosis yang penyelesaiannya tentu tidak sederhana. Sebab sejauh ini, rahim demokrasi belum sepenuhnya melahirkan para pemimpin yang berpikiran jernih, serta punya kecakapan bahasa yang mempesona.
Sekian.-
Komentar