Langsung ke konten utama

Mikroskop

Dalam sebuah perjalanan, saya membaca Majalah yang isinya menyajikan satu cerita menarik; tentang mikroskop dan pesan kebenaran. 

Bermula dari seorang pria yang sangat gemar mencicipi makanan berkelas internasional. Baginya, bukan sebuah hal yang luar biasa jika belum sempat menikmati makanan-makanan sejenis itu. 

Sebagai pria yang sangat peduli pada higienitas makanan, suatu saat ia mencoba membawa sebuah mikroskop, lalu didekatkan pada makanan yang sangat disenanginya itu. 

Betapa kecewanya ia. Sebab makanan yang sangat digemarinya selama ini, ternyata menyimpan banyak bakteri yang menjijikkan. Mikrospkop itu telah membawanya pada suasana batin yang berkecamuk; Apakah ia harus percaya pada hasil kerja mikroskop, ataukah tetap menjadi penggemar makanan internasional itu? 

***

Kenyataan seperti di atas, bukan hal yang terlampau asing terjadi dalam kehidupan manusia. Demikianlah proses kebenaran itu dibuktikan. Kehadirannya kadang tak membuat suasana menjadi semakin nyaman. Sebaliknya, justru memngeluarkan kita dari zona nyaman. 

Ajaibnya, ketika kebenaran itu telah menampakkan dirinya, manusialah yang berada dalam dilema; antara menjalankan kebenaran ataukah pembenaran semata. 

Dalam zona ilmu pengetahuan juga didapati hal serupa. Padahal, boleh jadi tumpukan defenisi yang hadir selama ini berada pada posisi 'yang dibenarkan' saja. Dikarenakan tidak adanya kemampuan manusia zaman kini untuk 'membongkar ulang' bangunan nalar yang sekian lama telah membeku. 

Bagi yang menanti hadirnya kebenaran dalam hidupnya, tentu ini bukan hal yang amat sangat bombastis. Namun sebaliknya, bagi yang telah mapan dengan pembenaran, selamanya ia akan tetap jahiliyah, sekalipun telah berada di zaman pencerahan. 

Iklim perubahan juga tak kalah hebatnya. Bagi yang tak dapat menemukan inovasi, selamanya akan tertinggal, digerus oleh kemajuan dan kecanggihan yang lain. Kita telah banyak menyaksikan betapa dahsyatnya Nokia berdiri di garis terdepan sebagai penguasa bisnis telepon seluler. Namun apa yang terjadi beberapa tahun kemudian, Samsung hadir dengan gempuran android. Tak lama kemudian, jadilah Nokia berada dalam barisan untuk dikenang saja. 

Jangan menduga iklim perubahan itu tidak sedang menghampiri kehidupan kita. Sikap jumawa manusia masa kini yang terus merasa nyaman, hampir dipastikan takkan berumur panjang. Sebab, tak lama setelah itu, kita akan senasib dengan barisan untuk dikenang juga. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui