Langsung ke konten utama

Makrifat Literasi

Dalam sebuah diskusi ihwal Gerakan Literasi di Indonesia, ternyata belum menemukan titik paten untuk mengukur dimana fase literasi ini jamak disemaikan. Padahal, gelombang gerakan literasi kini benar-benar telah mewabah di berbagai pelosok Nusantara. Kehadirannya bak air yang sedang meluber tanpa mengenal sekat.

Dalam diskusi itu, saya pun turut serta menjadi bagian yang ragu. Sebab hasil akhirnya hanya menawarkan sebuah hembusan khayali saja. Bahwa pada akhirnya, segala kebaikan takkan pernah berbakhir dengan sia-sia; akan dicatatkan dalam bait-bait puisi yang nantinya bakal menyejarah; hingga penantian akan balasan Tuhan di hari kemudian.

Pertanyaannya, adakah yang lebih istimewa dari sekadar hayalan, yang menurut saya relatif melankolis itu? Pertanyaan itu kemudian menemukan jawabannya saat berjumpa dengan sajian Haidar Bagir saat menulis tentang Membaca-Menulis sebagai Gerak Hermeneutik. Ia menjelaskan seputar dunia baca-tulis yang tak sekedar bergerak di medan lahiriah sebagai etos belajar dan pengembangan nalar. Namun juga sebagai upaya pengungkapan diri dari berbagai hijab pengetahuan. Di sini, kata Haidar Bagir, gerakan baca-tulis semacam gerak siklis, dari refleksi ke refleksi yang lain. Suatu gerakan eksistensial dari refleksi ke keterampilan baca-tulis, lalu terbang pada refleksi yang lebih tinggi.

Pada gerak reflektif itulah, kehadiran literasi menempati posisinya yang tepat sebagai kerangka hidup meraih makna kemanusiaan. Saya lebih nyaman menyebut sekujur tulisan ini sebagai makrifat literasi. Semacam tangga langit menuju pancapaian hakiki.

Sebagaimana dalam tinjauan Tasawuf, dunia literasi pun sedang bergerak dalam tangga yang serupa; Syariat, Thariqat, Haqiqat, dan Makrifat.

Pada fase syariat, literasi ditandai dengan hempasan semangat dan penuh gelora untuk menjadikan sebagai trend kehidupan, khususnya bagi generasi muda. Di level komunitas, semangat inisiatif digencarkan, kode-kode sosial direkayasa hingga membentuk trend tak pantas disebut ilmiah jika bertutur tanpa sumber bacaan yang jelas.

Di level pengambil kebijakan, literasi hendak dinobatkan sebagai lembaran regulasi. Simbolisasi sebuah daerah yang peduli pada kerja-kerja peradaban disodorkan lewat mekanisme peduli aturan pasal per pasal. Maka, hampir seluruh komponen anak bangsa saat ini sedang melirik dunia literasi sebagai instrumen penjemput kemajuan zaman.

Di sini, gerakan literasi berorientasi pada semangat mendorong anak bangsa agar dapat menjadi manusia yang mengakrabkan diri dengan tradisi belajar. Sayangnya, di level ini, dorongan baca tulis belumlah terasa sebagai ‘kue peradaban’, sebab nyaris dipersepsikan sebagai kewajiban. Sebagaimana halnya dengan pelajar yang hanya membaca buku mata pelajarannya. Dan hanya menulis ketika tugas itu diberikan oleh guru. Terlalu lama dalam fase ini, sangat memungkinkan terjadinya kejenuhan, setelah tak menemukan hakikat yang terpatri di dalamnya. Maka segeralah beranjak pada fase kedua agar tak menjadi korban serangan kejenuhan itu.   

Pada fase Thariqat, semangat literasi sangat ditentukan oleh segmen dimana titik sorot yang dianggap relevan untuk digerakkan. Ada yang menyorot masyarakat pesisir, generasi muda, remaja masjid, kelompok perempuan, kelompok lansia, dan sejumlah segmen lainnya. Polarisasi ini berdampak pada disiplin baca-tulis. Hanya melirik bacaan yang sesuai dengan kebutuhan segmentasi yang dibangunnya.

Fase kedua ini memang telah beranjak dari kewajiban menuju kebutuhan. Di sinilah kita bakal menemukan sejumlah spesialisasi itu hadir dalam ragam coraknya. Mulai dari budayawan, cendekiawan, sastrawan, sejarawan, filosof, serta sejumlah merek lainnya. Jika keluar dari garis yang ditekuninya, tuduhan tidak fokus bakal terus melanda.  

Dalam fase ini, para pegiat literasi bakal diuji daya bantingnya. Apakah telah siap dengan segala resiko pelabelan itu. Sebab pada fase inilah, iklim kejenuhan itu akan hadir bak raksasa yang menghantam gedung pencakar langit. Bahkan boleh jadi bakal diikuti dengan kondisi zona nyaman disebabkan popularitas kita sebagai praktisi literasi telah menggema di berbagai penjuru mata angin.
Maka, sebagaimana dalam fase-fase perjalanan spiritual, gerakan literasi dalam tingkatan kedua ini juga akan mengalami masa tumbang. Entah karena alasan kejenuhan, ataukah karena dalih popularitas yang terlanjur membahana.

Fase ketiga, adalah kesanggupan agenda literasi untuk menggerakan nalar ke arah multi perspektif. Tak ada lagi perdebatan seputar bacaan kanan ekstrim atau kiri ekstrim. Simpulan-simpulan hanya berlaku ketika anda masih berada di tangga pertama tadi. Apa maksudnya? Jika pada fase kedua, kita dijejali dengan kedisiplinan spesialisasi pengetahuan, maka fase ini justru mengantar manusia pada kekayaan menangkap anasir pengetahuan tanpa sekat apapun.

Labelisasinya pun seketika akan terasa hambar disebabkan oleh kecakapan merobek hijab-hijab spesialisasi itu. Kita tak butuh lagi dengan labelisasi budayawan, cendekiawan, sastrawan, sejarawan, filosof, bahkan lebih ekstrim, tak ada lagi tanya seputar apa agama anda. Sebab di atas semua itu, maqam literasi telah jauh terbang bersama rimbunan kekayaan pengetahuan lintas batas.

Di snilah kita akan berjumpa dengan kelompok manusia yang amat sulit dipersepsi atau bahkan diposisikan pada segmentasi sosial tertentu. Sebab di saat kita menyebutnya sebagai pakar pendidikan, di saat yang sama kita menangkap kecapakannya di bidang ilmu sosial. Atau di saat menemukan label akademiknya sebagai pakar komunikasi, justru kita dicerahkan oleh kedalaman ilmu agama, itupun dengan ragam komparasi antar mazhab. Atau seorang dikenal novelis seketika sangat filosofis. Dan saat kita menemukan dia sebagai intelektual murni, dalam suasana lain kita mendapatinya sebagai sang pujangga.

Kini, tibalah kita pada fase makrifat literasi. Di sini, kita tak lagi bicara tentang apa yang anda baca, apa yang anda tuliskan. Kita pun tak bergairah lagi bertanya seputar merek kesarjanaan. Bahkan betapa tidak menariknya menilai satu sama lain sebagai tokoh lintas batas.

Makrifat literasi pada akhirnya akan mengantar manusia untuk menemukan cahaya ilahi sedang memantul ke dalam dirinya, sembari menyaksikan tabir kejahilan itu disobekkan seketika. Bahwa pengetahuan yang diselaminya selama ini tak lebih dari cara seorang hamba untuk melepaskan satu per satu tirai kejahilan yang selama ini membungkus kehidupannya. Pun saat ditanya alasan di balik etos belajarnya, anda tidak akan menemukan jawaban seperti orang yang ditanya mengapa ia meminum air; karena ia haus.

Bagi mereka yang telah menggapai maqam makrifat literasi, makna ayat minazzhulumati ilannur (dari alam ke gelapan menuju alam penuh cahaya), adalah jawaban yang bakal dilontarkan.

Inilah esensi dari pesan yang masyhur dalam dunia tasawuf. Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu (siapa yang mengenal dirinya, niscaya bakal mengenal tuhannya). Bahwa kerinduan pada cahaya makrifat Ilahi-lah yang mengantarnya untuk terus berada dalam deret para pejuang literasi. Mereka akan terus terbang meraih asma Allah, agar kemuliaan itu nyata melampaui maqam kemuliaan para malaikat. Sampai kapan pun itu.


Lalu dimanakah maqam literasi anda? Sekian. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui