Langsung ke konten utama

Susu Formula = Pembunuhan Berencana

Kunjungan Kerja Pansus DPRD Sulbar terkait Ranperda Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif punya cerita sisi lain. Pasalnya, kedatangan dengan maksud ‘berguru’ ke provinsi kakak tertua, Sulawesi Selatan justeru berbuah pengayaan mendalam terkait pentingnya kepedulian semua pihak terhadap ASI. Bukan hanya dalam timbangan yuridis belaka.

Betapa tidak, ihwal terkait ASI rupanya juga telah masuk dalam daftar musuh besar konspirasi bisnis kelas kakap. Sebab diakui, dengan fokusnya ibu menyusui anaknya secara eksklusif bakal mampu menurunkan omzet dari usaha produksi susu formula.

Kepala Bidang Bina kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Sulsel, dr. Andi Mappatoba membeberkan, bisnis susu formula sesungguhnya sangat mengerikan. Sebab hanya mengejar keuntungan demi keuntungan. Sementara pertimbangan kemanusiaan, justeru dinihilkan.

“Kalau ada Ibu yang lebih memilih susu formula dari pada memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, itu artinya si Ibu telah melakukan pembunuhan secara berencana,” tegas Andi Mappatoba di sela-sela pertemuan yang digelar di Kantor Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, Jl. Perintis kemerdekaan km 11, Makassar, Kamis, 22 Oktober lalu.

Ia membandingkan system Immunitas anak-anak masa kini dengan masa lalu. Buktinya, kekebalan tubuh anak-anak masa lalu yang notabene paling banyak menerima asupan ASI terbukti lebih kuat secara fisik maupun mental. Sementara anak-anak yang lebih banyak mengonsumsi susu formula, kecenderungannya mudah- sakit-sakitan.

“Nah, apa untungnya kalau generasi kita sakit-sakitan. Apa manfaatnya jika setiap bulan anak harus dirujuk ke rumah sakit. Makanya wajar kalau kita sebut bahwa penggunaan susu formula itu sama takarannya dengan agenda pembunuhan berencana, khususnya bagi anak-anak bangsa,” tandasnya.

Lalu siapa oknumnya? Dengan vulgar, Andi Mappatoba menegaskan bahwa mafia susu formula sesungguhnya tidak bergerak dalam ritme dan logika antar pelaku bisnis saja. Tapi juga melibatkan orang dalam alias oknum tenaga kesehatan.

“Tidak usah jauh-jauh. Mafia kita ini kan ada juga dari kalangan tenaga kesehatan. Iming-imingnya jelas. Siapa yang mencapai target bakal mendapat bonus jalan-jalan ke luar negeri. Bahkan sampai ada yang dapat bonus umroh. Jadi lingkarannya memang besar bisnis susu formula ini. Makanya jangan heran kalau ada rumah sakit yang masih suka jual susu formula,” urai pria yang terlibat langsung dalam penyusunan perda ASI nomor 6 tahun 2010 di Sulsel ini.

Anggota Pansus, Sukri Umar sontak menyambut penjelasan itu dengan mimik penuh keseriusan. “Kalau saya, ini harus diseriusi untuk segera menjadi perda. Dan di tempat ini, saya selaku sekretaris Fraksi Partai Demokrat menyatakan support penuh atas ranperda ini. Jadi intinya ini harus dipercepat,” imbuhnya.

Bagi Sukri yang juga merupakan Sekretaris Komisi I DPRD Sulbar itu, kewaspadaan terhadap mafia susu formula sudah saatnya diproteksi dengan payung hukum yang jelas. Agar Sulbar dapat terhindar dari ancaman suramnya masa depan generasi bangsa disebabkan budaya instan yang kian menggusur kultur masyarakat.

Senanda dengan itu, ketua Pansus, Jumiati mengaku banyak memeroleh pengayaan atas penjelasan dari Dinas Kesehatan Sulsel itu. Politisi Partai Gerindra ini tak menampik bahwa ‘sekujur tubuh’ dari penjelasan tersebut akan menjadi referensi dalam penyusunan ranperda nantinya. “Yang pastinya kami tidak salah menunjuk Sulsel sebagai daerah kunjungan kerja. Memang benar-benar kakak terbaik bagi kami,” pungkasnya. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa