Langsung ke konten utama

ASI; Pintu Masuk Penguatan Kualitas Anak Bangsa

Air Susu Ibu (ASI) tak sekedar kewajiban seorang ibu menyusui bayinya. Namun juga merupakan pintu masuk menentukan masa depan anak bangsa.

Inilah entry point dari pertemuan sejumlah anggota DPRD Sulawesi Barat dengan pihak Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, Kamis 22 Oktober 2015. Bahkan, agenda "membumikan" ASI ini bakal memiliki payung hukum dalam bentuk peraturan daerah (Perda) Pemberian ASI Eksklusif bagi anak.

Anggota Pansus dari PKS, Abdul Latif Abbas mengemukakan, ASI merupakan hal yabg acapkali dianggap sepele. Sehingga memerlukan perhatian khusus serta dukungan penuh dari semua pihak. "Tujuan utamanya memang kita ingin agar ASI ini benar-benar diseriusi. Agar ke depan kualitas hidup itu anak-anak bangsa dapat benar-benar berkembang secara cerdas dan sehat," kata Abdul Latif yang juga ketua Badan Legislasi DPRD Sulbar.

Sayangnya, ikhtiar ini bukan berarti tak menuai kendala. Gempuran kapitalisme serta takluknya kaum perempuan pada dunia fashion turut mendukung alasan mengapa kepedulian terhadap ASI kian terpinggirkan.

"Saya mencermati adanya beberapa wanita karir yang sudah mulai mengabaikan kewajibannya sebagai ibu yang harus menyusui. Kendati sudah sangat dipahami bahwa hal itu merupakan kewajiban seorang ibu," jelas Abdul Halim, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Sulbar.

Hal itu diamini kepala Dinas Kesehatan Sulbar, Achmad Aziz. Katanya, pemberian ASI di Sulbar selama ini memang belum menemukan titik sempurna alias belum berhasil. Sebab jika ditelisik dalam faktanya, persentase penduduk Sulbar yang bertubuh pendek sebanyak 39,4 persen. "Itu orang pendek. Sementara untuk gizi buruk, Sulbar mencapai 27,6 persen. Kalau ditanya kenapa demikian, ya tentu salah satunya karena faktor kurangnya ASI," beber Achmad Aziz pada pertemuan itu.

Untuk itu, sekretaris Komisi IV DPRD Sulbar, Sukri Umar meminta agar dalam penyusunan perda tersebut, memuat sejumlah point yang mampu menjawab keraguan kaum perempuan.

"Tugas kita semualah untuk mendorong agar perda ini nantinya dapat memberi keyakinan bagi perempuan khususnya, untuk tetap tampil fashionable. Karena terus terang gejala di masyarakat kita ini sudah mulai ada kecenderungan persepsi untuk tidak memberikan ASI. Dengan alasan akan menurunkan kualitas kecantikan," tegas Sukri.

Lalu bagaimana strategi agar harapan ini dapat terwujud? Salah satunya melalui penguatan kembali peran dan fungsi Posyandu di tiap-tiap wilayah.

"Sebab diyakini, peran posyandu itu sangat bagus. Utamanya dalam hal memberi pelayanan kepada masyarakat. Nah, kalau urgensi ASI ini dikuatkan dengan peran posyandu, saya kira akan dapat berjalan dengan baik serta berwujud nyata" jelas Itol S. Tonra, politisi PDIP yang juga mantan wakil Bupati Majene.

Kendati demikian, di samping upaya memberi dukungan dalam bentuk perda, juga dibutuhkan pelibatan tokoh-tokoh agama. Ketua Komisi IV DPRD Sulbar, Abdul Rahim menegaskan, dalam tinjauan agama Islam, ASI merupakan salah objek perintah teologis yang tak boleh dinafikan.

"Jadi perda ini sekalipun penting, tapi sesungguhnya ASI ini punya latar belakang teologis yang cukup kuat. Artinya, sangat naif jika ada seorang ibu yang karena alasan karir lalu mengabaikan kewajibannya untuk menyusui. Ini perintah agama, lho. Dan ingat, di balik perintah Allah itu pasti ada keajaiban di dalamnya. Itu yang harus digugah kesadaran masyarakat kita. Sembari melibatkan tokoh-tokoh agama untuk tidak lelah menyuarakan pesan ini," harap Rahim.

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan, Rachmat Latif mengingatkan agar agenda "membumikan" ASI ini tak berjalan satu arah saja. Sebab disadari, di balik pengabaian tugas dan tanggung jawab seorang Ibu untuk menyusui, juga terdapat oknum yang memanfaatkan keadaan ini. "Jadi bukan karena faktor minimnya kesadaran masyarakat saja. Tapi juga karena ada oknum yang mencoba bermain-main. Akibatnya, makin larislah pembelian susu formula," jelasnya. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa