Langsung ke konten utama

Pemberdayaan Perempuan, Perjuangan Setengah Hati ?

Catatan dari Dialog Publik KORPS HMI WATI Cabang Mamuju (1)

Pagi jelang siang, waktu itu, pilihan dominan warga urban acapkali dihabiskan untuk bersantai ria, bercengkerama dengan keluarga terdekat. Pun tak jarang diramaikan dengan berbagai event berjenis entertainment. 

Tapi kali ini tidaklah demikian. Suasana Minggu (03/05) kemarin benar-benar menjadi arena pergumulan ide dan gagasan dari sejumlah kumpulan mahasiswa maupun mahasiswi. Mereka yang tergabung dalam organisasi KOKATI HMI Cabang Manakarra berinisiatif menggelar Dialog Publik bertajuk 'Pemberdayaan Perempuan; Setengah Hati???' di Warkop M'Coffee Jl. Cik Ditiro Mamuju.

Diskusi ini rupanya hendak melumasi kembali energi perjuangan kaum perempuan yang hingga kini masih terus saja berada pada posisi sosial 'dinomorduakan'. Kata Udin Mandegar, mengawali dialog itu, Pemberdayaan Pemrempuan bukan lagi menjadi barang langka dalam percaturan pembangunan bangsa saat ini. 

"Sekarang ini, isu pemberdayaan perempuan tak lagi semata untuk diwacanakan saja. Tapi juga sudah sampai pada sikap pergerakan tersendiri," urai Udin Mandegar, dedengkot HMI Makassar itu. 

Bukan hanya itu, sikap sensitif terhadap objek yang satu ini rupanya telah menjadi poros alternatif dalam menjawab problem negara-negara berkembang saat ini. Baik masalah kemiskinan, ketimpangan gender, maupun disparitas emansipasi, semuanya dapat ditemukan muasal persoalannya dengan pendekatan ini. 

"Namun sayangnya, seiring dengan makin merebaknya opsi-opsi alternatif dari gerakan pejuang perempuan, justeru terkesan kita kian jauh dari harapan awal. Kita memperjuangkan pemberdayaan, tapi fakta lapangannya justeru makin banyak kelompok perempuan yang terperdaya, teraniaya," ungkapnya penuh tanya.   

Padahal diketahui bersama, posisi dan peran perempuan sangatlah strategis dalam memberikan kontribusi terhadap pembangunan. Baik dalam skala Nasional maupun lokal. Bukan tidak mungkin, agenda pemberdayaan perempuan maih terus dirasakan mengalami kebuntuan gerakan setelah ditemukan dua faksi sikap hidup yang acapkali dihadap-hadapkan; Publik vs Domestik. 

Dua pilihan itu, seringkali 'memaksa' para pegiat wacana peregerakan perempuan mengalami jebakan binnerian. Artinya, terjadi pemasungan pilihan untuk satu hal, kemudian menafikan pilihan lainnya. Tegasnya, memilih ruang publik sama halnya mengerdilkan tanggung jawab domestik selaku Isteri bagi Suami sekaligus Ibu dari anak-anaknya. 

Lebih miris lagi, karena dua pilihan di atas agaknya turut diberi ruang lapang terhadap domain konstruksi sosial budaya. Dengan pakem budaya patriarkhi misalnya, posisi maupun peran perempuan terus saja dilabelkan dalam ranah 'yang tak dipentingkan'. Wajar, jika suara politik perempuan terlalu gamang. Wajar pula jika kebijakan pembangunan terus-menerus menihilkan perhatian khusus pada eksistensi kehidupan kaum hawa. 

Slaah seorang peserta yang juga merupakan anggota jaringan Nasional Jurnal Perempuan, Selvi Febriana mengutarakan, ada beban ganda yang dihadapi perempuan dalam meretas persoalan yang dihadapinya. 

"Beban ganda yang dimaksud adalah perebutan dua faksi itu. Antara Publik dan Domestik. Sepertinya ada stereotipe yang memaksa kami kaum permouan untuk memilih salah satu dari dua hal itu. Padahal kondisi sebenarnya tidak demikian. Kami perempuan bisa menunaikan keduanya. Ke ranah domestik kami mampu mengandung, melahirkan dan menyusui anak. Dan wilayah publiknya, kami pun sanggup untuk bersuara seputar tuntutan atas hak-hak perempuan yang belum ditunaikan," tegas Selvi. 

Ninda Maisarah, presenter dari RRI Mamuju yang juga hadir sebagai narasumber pada acara tersebut lebih tegas mengungkapkan, ada kekuatiran bersama bahwa Negara belum sepenuhnya hadir mengayomi kaum perempuan. 

"Kita perhatikan, agaknya peran Negara terhadap perlindungan kamu perempuan masih sangat rendah. Setidaknya pemenuhan terhadap sisi keamanan (secure) kaum pereuan hingga kini masih terus saja belum tertunaikan. Artinya memang kita perlu merancang seperti apa tanggung jawab pemerintah dalam hal melindungi rakyatnya, khususnya kaum perempuan," tandas Ninda, presenter cantik itu... (bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa