Langsung ke konten utama

Agar Daya Sentak Perempuan Menggema

Catatan dari Dialog Publik KORPS HMI WATI Cabang Mamuju (2)

Perjuangan perempuan demi sebuah tuntutan kesetaraan harus diakui masih belum menukik tajam. Jika tak ingin disebut masih terseok-seok dalam pusaran wacana semata.

Dalam konstruksi wacana sosial, kata Pip Jones (2003), perjuangan emansipasi perempuan dimantapkan sebagai bagian tak terpisahkan dari lanskap pemikiran sosiologi. Gerakan ini juga sering dinamai dengan perjuangan 'gelombang kedua'; yang mulai dikonstruksi untuk menjelaskan pengalaman spesifik menuju pencapaian emansipasi perempuan. 

Persoalannya, daya sentak dalam wacana itu belum sepenuhnya mengalami pembuktian sahih dan serentak. "Bahkan bukan hal keliru jika kita menganggap agenda ini hanya berputar di pusaran kota saja. Coba kita lihat, mana ada kelompok perempuan di kampung yang tersadarkan akan pentingnya suara politik mereka. Ini sekedar contoh saja," ucap wakil Ketua DPRD Mamuju, Irwan SP. Pababari yang tampil sebagai pembicara dalam diskusi itu. 

Karenanya, secara faktual, upaya untuk mendorong kesetaraan gender seringkali layu sebelum berkembang. Bagi Sri Ayuningsih, kerja cerdas disertai kerja nyata merupakan langkah niscaya untuk menemukan ruang gerak kolektif, khususnya di kalangan aktifis pemberdayaan perempuan.

Katanya, dengan melebarkan sayap pemberdayaan ke tingkat paling bawah, Desa misalnya, membuka tirai kesaaran yang selama ini dianggap masih beku. 

"Cobalah kita semua punya kontribusi yang jelas terhadap progress pemberdayaan di Desa. Kalau hari ini kita menganggap bahwa kaum perempuan masih sangat didominasi oleh budaya patriarkhi, saya kira bukan hal keliru jika kita bergerak ke desa. Sembari membangun jiwa partisipasi sosial sekaligus menyadarkan semua pihak akan arti penting memperjuangkan hak-hak perempuan," tegas Sri Ayuningsih, praktisi Pemberdayaan dari Yayasan Karampuang Mamuju. 

Wakil Kapolres Mamuju, Andri mengemukakan, dari sisi perlindungan perempuan, sejauh ini masih menjadi kendala yang tak dapat dimusykilkan. "Hal paling nyata, rupanya hingga kini belum ada payung hukum yang tegas dalam upaya melindungi perempuan," kata Andri. 

Hal ini diamini Irwan. Pria yang juga Ketua DPC Partai Hanura Mamuju ini menegaskan, sejumlah regulasi semisal Perda memang belum punya daya takar terhadap upaya mendorong kebijakan ke arah sensitif gender.

"Mulai dari perencanaan pembangunan kita memang belum disirit berdasarkan prespektif gender. Maka tidak heran kalau ada program pembangunan satu tempat prtemuan, tapi di situ belum disiapkan toilet maupun ruang khusus untuk Ibu menyusui," bebernya. 

Karena itu, sepatutnya kaum perempuan memiliki daya sentak yang mampu menggemakan suara kebijakan ke arah pro gender. "Salah satu upayanya adalah bagaimana mengeluarkan kaum perempuan dari jeratan patriarkhi. Termasuk kita mendorong agar perempuan tidak lagi hanya menjadi makhluk kedua dari pembangunan," harap Ketua Komisi Perempuan Indonesia (KPI) Mamuju, Indo Upe yang turut hadir dalam acara tersebut. 

Yang lebih penting, para pegiat pemberdayaan mestilah saling menyemangati. Bukan saling mencurigai. Titik. (Selesai)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui