Setelah masa MTQ tingkat Sulawesi Barat usai, dan Majene kembali memboyong predikat sebagai juara umum, kini, saatnya untuk me-review lagi akan hasil yang telah diraih. Tanpa harus berpikir lebih analitik, harus diakui bahwa MTQ kali ini tidak banyak membawa perubahan berarti bagi proses pengembangan tilwatil qur’an pada setiap Kabupaten di Sulawesi Barat.
Setidaknya asumsi ini dapat diperkuat dengan mencoba membuka lembaran masa silam dan mulai menghitungnya di tahun 1994. Pada waktu itu, kita masih bergabung dengan Sulawesi Barat. Dan pada waktu itu pula pelaksanaan MTQ tingkat Sulawesi Selatan dipusatkan di Kabupaten Bantaeng. Saat itulah saya turut ambil bagian sebagai peserta pada salah satu cabang perlombaan, mewakili Kabupaten Majene.
Dengan menggunakan Bus Cahaya Madinah, kami diberangkatkan bak rombongan Jemaah Haji, dengan sreribu satu macam doa sapu jagad. Namun seperti biasa, kecerobohan pihak LPTQ selalu saja ada. Sebelum kami diberangkatkan, dibagikanlah pakaian kebesaran kafilah. Celakanya, beberapa peserta dan salah satunya adalah seorang peserta andalan, Nuhun Jamal, mendapat nasib yang kurang menguntungkan saat itu. Bagian kiri dan kanan pada lengan baju kebesarannya ternyata sangat kontras. Lengan kanan bajunya terlalu panjang dan lengan kirinya teramat pendek.
Betapa marahnya Sang Qari’ kita ini. Bagi saya, Saudara Nuhun Jamal tidak hanya layak untuk diandalkan sebagai juara umum, namun juga layak diandalkan dalam melakukan “somasi solidaritas” terhadap perlakuan ceroboh dari pihak LPTQ saat itu. Dalam perjalanan kami tersebut, selain untuk berhenti istirahat dan Shalat, beberapa kali bus kami harus dihentikan untuk mengangkut beberapa peserta “rental” di Kabupaten lain.
Dari peristiwa singkat di atas, saya ingin mengungkap dua hal:
Pertama, jika saya mengkritik LPTQ, maka itu bukanlah kritikan ahistoris, tanpa bukti, dan tanpa argumentasi rasional. Kedua, tulisan ini merupakan bagian dari perspektif saya terhadap beberapa perdebatan alot baik dalam bentuk dialog face to face, forum ilmiah, maupun di jejaring sosial facebook. Di Facebook sangat tampak perdebatan tersebut, dan amat terlihat betapa emosionalitas telah membuncah mewarnai keresahan MTQ tahun ini. Ada yang mencela habis-habisan, dengan mengatakan bahwa LPTQ hanya tahu menguras uang rakyat, ada pula yang berperan sebagai benteng atau pembela LPTQ, dan yang terakhir mencoba memandang secara lebih futuristik, dengan ajakan mengambil hikmah di balik peristiwa MTQ, sebagai tanda-tanda munculnya Dajjal. Ketiga, saya ingin mengatakan bahwa durasi 1994 hingga 2010 adalah waktu yang cukup panjang, dan sama sekali tak punya makna yang berarti di tubuh LPTQ. Kalaupun Majene telah meraih predikat sebagai juara umum yang kedua kalinya, bagi saya, tidak ada yang patut dibanggakan, tidak benar jika disebut kerja keras dan tentunya, melahirkan kemenangan semu.
Sampai di sini, agaknya istilah ketok magic lebih relevan untuk digunakan sebagai perenungan alternatif setelah sekian lama kita memoles praktik-praktik kepalsuan pada setiap momen MTQ. Ketok magic merupakan salah satu jenis layanan jasa bagi setiap kendaraan yang body-nya telah ambruk, atau mengolah ulang barang rongsokan menjadi mulus kembali. Lalu bagaimana kita memahami ketok magic LPTQ?
Pada tulisan ini, saya ingin menawarkan (3) tiga setting agenda untuk kinerja masa depan di tubuh LPTQ sebagai tahapan Ketok Magic, agar tampak mulus luar-dalam.
Pertama, perlu diluruskan kembali Mind set yang digulirkan di lembaga ini. Lembaga sebesar LPTQ, bagi saya, tidak cukup hanya dengan mengandalkan kesuksesan dalam menggelar acara MTQ, namun yang lebih penting adalah bagaimana upaya yang sungguh-sungguh dalam mencetak dan menciptakan talenta lokal. LPTQ seyogyanya berorientasi pada proses pengembangan bakat generasi, bukan bekerja secara instan dengan hanya mencomot peserta dari berbagai tempat.
Dari perbincangan yang alot dengan para petinggi LPTQ di Majene beberapa tahun lalu, baik dari unsur pemerintah maupun kalangan “elit agama”, saya menemukan sebuah lingkaran sesat pikir dan mendominasi kebijakan internal lebih lanjut. Di antaranya, bahwa persoalan mendatangkan peserta dari luar tidak diatur dalam dalil Naqli, baik al-Qur’an maupun Sunnah Nabi, atau lebih simpelnya, tidak ada aturan syariat yang mengikatnya. Ini berarti bahwa kita sedang mencoba merontokkan nilai universalitas al-Quran sebagai firman Tuhan. Bagi saya, adalah sesuatu yang terlalu rendah dan primitif jika Allah harus berfirman atau Nabi SAW harus bersabda, hanya untuk urusan sah tidaknya kehadiran peserta rental di arena MTQ. Dengan segala maaf, saya ingin mengatakan bahwa jawaban tersebut amatlah menyesatkan, sekaligus mencoba lari dari tanggung dengan bersandar pada otoritas Ilahiyah.
Alasan lain yang berkembang, bahwa dengan tidak dimasukkannya aset lokal sebagai bagian dari tim andalan, karena mereka tidak mampu mencapai garis penilaian rata-rata. Lagi-lagi, kita harus jeli melihat jawaban ini. Bukankah yang bertanggung jawab dalam proses pembimbingan dan pengembangan ada di pundak LPTQ? Bukankah LPTQ dibentuk oleh pemerintah sebagai bagian dari kebijakan dalam pembinaan Tilawatil Qur’an? Lalu apa arti juara pada tingkat Kabupaten, jika kemudian harus dianulir sebagai peserta yang tidak kompetitif? Sekali lagi, ini merupakan jawaban yang juga mencoba melarikan diri dari tanggung jawab. Karena itu, jika kedua jenis Mind set ini tidak di-ketok magic sejak dini, maka selamanya kita tidak akan menggelar MTQ dengan kemandirian, bermartabat dan penuh harga diri. Kita akan terus tenggelam jauh dalam kubangan kepalsuan, kesemuan, dan manipulasi antar sesama warga Sulawesi Barat. Pada saat yang sama, kita sedang memeragakan sebuah bentuk kekerasan psikologis terhadap sekian banyak generasi dengan meminggirkan eksistensi mereka. Kadang kita terlalu ikhlas menggelontorkan dana untuk aset luar, namun teramat “kikir” bersedekah untuk generasi sekampung halaman.
Kedua, Secara kelembagaan, agaknya LPTQ perlu merombak sistem kelembagaannya. Sistem perekrutan pengurus sebaiknya tidak didasarkan pada faktor kedekatan, eselon, aktivitas pasca pensiun, apalagi rasa belas kasih. Tegasnya, LPTQ hendaknya lepas dari bayang-bayang power syndrome (Penyakit kekuasaan). Karena LPTQ bukan ajang adu gengsi, namun arena profesionalisme dan kompetisi.
Ke depan kita butuhkan sejumlah pihak yang benar-benar memiliki ruang dan waktu untuk memikirkan tata kelola LPTQ secara maksimal, bukan sebatas aktivitas sampingan. Dengan mengedepankan profesionlaisme dan semangat kompetisi, maka akan muncul seleksi alamiah yang mensyaratkan bahwa hanya orang-orang yang kredibel dan kapabel sajalah yang akan mampu bertahan dan bertarung di LPTQ. Selebihnya, bagi yang menganggap LPTQ sebagai tempat teduh mengais rezeki, memelas kasih dan tidak memperjuangkan masa depan talenta lokal, mereka akan akan terjungkal dan terekam dalam lintasan sejarah sebagai pihak yang pernah menjebloskan LPTQ dalam pencitraan yang buruk dan pesimis di mata publik.
Ketiga, persoalan pengembangan bakat di bidang tilawah dan berbagai jenis yang dilombakan dalam setiap perhelatan MTQ, perlu mendapat porsi anggaran yang cukup. LPTQ tidak boleh hanya diberi porsi anggaran Musabaqah saja, namun yang lebih penting diberikan suntikan dana yang memadai, dan dikhususkan untuk pengembangan bakat tilawah dari aset lokal. Saya pernah mendapat keluhan dari salah seorang pejabat teras LPTQ, bahwa kendala yang terjadi selama ini, karena porsi anggaran LPTQ habis dikuras untuk sekali event MTQ.
Jika ketiga agenda setting di atas diterapkan dalam kelembagaan LPTQ, maka besar harapan kita, bahwa masa depan LPTQ tidak hanya berjasa dalam mengharumkan nama daerah, namun yang lebih peting, karena LPTQ telah memobolisasi sekian banyak pihak untuk beranjak dari praktik membenarkan kebiasaan menuju membiasakan kebenaran.
Komentar