Ada banyak pengertian tentang Tasawuf yang berseliweran di berbagai lembaran buku serta beranda dunia maya. Baik di belahan timur maupun barat, studi seputar Tasawuf kian digandrungi.
Khusus di timur, selain menjadi objek perbincangan kalangan akademis, tasawuf juga memiliki jelmaan jalan sunyi. Dikatakan jalan sunyi, sebab ada banyak pengamal tasawuf yang tak ingin menghabiskan energi untuk menjelaskan hal-hal yang secara subtansi, sangat bersifat personal-ilahiyah. Mereka lebih memilih menghabiskan malam panjang dengan riyadhah, latihan spiritual sembari menanti jatuhnya kasih Tuhan ke dalam sanubari seorang ‘abid.
Namun jangan menyangka, penolakan seputar tasawuf juga kian melebar. Sejak dahulu hingga sekarang, tasawuf menjadi objek tuduhan sebagian pihak sebagai ajaran sesat, sekaligus menyesatkan.
Pada posisi ini, kadang terlihat aneh ketika pembelaan wilayah Tasawuf dikemas dalam pola yang serba berhadap-hadapan.
Agaknya ini keliru. Bahkan lebih gamblang dapat disebut sebagai pemusnahan kesadaran tasawuf bagi pengamal tasawuf itu sendiri.
Padahal, disitulah letak ujian ke-Tasawuf-an seorang hamba. Apakah ia mampu berdiri tegak di tengah badai caci-maki? Dapatkah ia tersenyum di hadapan manusia berwajah murka? Atau kita pun memberikan balasan serupa untuk membalasnya dengan caci-maki, amarah dan murka?
Jika itu yang terjadi, maka ke-tasawuf-an kita sesungguhnya sedang berada di persimpangan jalan. Tasawuf dikenali sebagai ajaran keluhuran. Namun dijungkirbalikkan dalam pengamalan sehari-hari.
Tasawuf mengajarkan kesabaran, pengamalnya menampilkan ketergesa-gesaan. Tasawuf menawarkan senyuman, pengamalnya menampakkan kemarahan. Tasawuf menyajikan cinta, para pengamalnya menjauhi cinta.
Lalu dimana ke-tasawuf-an kita?
Mamuju, 7 Oktober 2019
Komentar