Hari ini, genap 54 tahun usia Dr. H. Suhardi Duka, MM. Pria yang kini
namanya makin digampangkan hanya dengan sebutan tiga huruf; SDK. Dengan angka 54 ini, tentu bukan lagi sebagai fase pendakian menemukan jati
diri. Sebab telah bergerak ke ruang kesadaran yang lebih bijak.
Tahun lalu, saat suami dari Hj. Harsinah ini berulang tahun ke-53, begitu
terang menyatakan bahwa usia yang disandangnya telah menggoreskan jejak
kehidupan beraneka rupa. "Sewaktu saya masih muda, cita-cita saya seolah hendak menggapai bulan
dan matahari. Kalau ada yang mencaci maki, saya balas dengan hal serupa. Tapi
itu dulu," kata Suhardi.
Pusaran kekinian makin mengajarkan arti penting dari sikap bijak atas
berbagai narasi kehidupan yang dihadapinya. "Saat ini saya makin sadar bahwa hidup itu harus diabdikan dengan
kedalaman makna dan kesungguhan memaknai. Sudah saatnya usia yang diberikan
Tuhan membuat kita semakin bijak," tutur SDK saat berbicara tepat tanggal
10 Mei 2015 lalu.
Narasi kehidupan politisi itu terus menegaskan makna dan kearifan. Adalah
hal wajar jika tulisan ini hendak memberi anugerah ulang tahun dengan cara
lain. Walau sebatas mengajak nalar dan relung batin kita untuk membincang
fenomena SDK bukan hanya sebagai politisi. Tapi juga dalam tangkapan kecerdasan
emosional (emotional question).
Mengapa? Sebab akhir-akhir ini, kita semakin sadar bahwa kecerdasan
emosional sangatlah penting bagi tiap individu dalam meraih kesuksesan dan
kebahagiaan.
Kita pun sadar, dengan kecerdasan emosional yang tinggi akan membantu manusia
bersikap praktis ketika dihadapkan pada suatu permasalahan. Dan bagi saya, SDK
adalah satu dari sedikit orang yang memiliki kecakapan itu. Bolehlah kita
menyebut bahwa pola ini menetaskan dua hal yang saling memantul; memahami SDK
dan memahami diri sendiri.
Pertama, SDK piawai dalam menggeser alam berpikirnya dari jebakan sangkaan
negatif. Ia tahu betul bahwa sikap prasangka buruk hanya akan membuatnya
kehabisan energi secara percuma. Di saat yang sama, sikap positif itu dapat
dipancarkan dengan cepat dalam ketegasan sikap sehari-hari.
Walau demikian, di tengah kesugguhan agar tetap mengedepankan pikiran dan
sangkaan positif, ia masih harus berhadapan dengan gempuran sangkaan negatif.
Usai memberi manfaat, malah dicap khianat. Makin ia menebarkan senyum manis,
makin keras pula tuduhan sebagai orang sadis.
Kedua, dengan pikiran positif yang dipunyai, SDK acapkali meyakinkan banyak
orang tentang pentingnya mengubah paradigma agar selaras dengan tuntutan zaman.
Kendati pada hal-hal tertentu, ia sangat ‘konservatif’ dibarengi dengan
kegigihannya berdiri pada sikap yang diyakini benar.
Sikap inilah yang membuat tali temali pertemanannya terus menuai angin
segar. Intinya, tak ada kata jenuh jika anda telah mengenal kepribadian SDK.
Dan pastinya, karakter merawat pertemanan memang telah khatam di sisi beliau.
Wajar jika tak ada sedikit pun waktu yang dihabiskan kecuali dengan kerja-kerja
produktif bersama para koleganya.
Oleh banyak kalangan, ia lebih dikenal sebagai seorang politisi. Tapi jangan
kaget apalagi terhentak jika seketika anda mendapati SDK bertindak layaknya
sebagai seorang psikiater yang tengah menghadapi kliennya. Itulah sisi lain
pria berkacamata sporty ini yang
mampu merasakan denyut nadi penderitaan dari setiap orang.
Ketiga, ia juga memiliki sikap tegas dalam mengemukakan suatu pendapat. Ia
tahu betul kapan harus bicara, kapan waktu yang tepat mengemukakan pendapat dan
dengan cara apa menemukan solusi tanpa harus menggurui. Selaku politisi, tentu ini hal biasa. Tapi sekali lagi, beliau adalah
sedikit dari banyak orang yang sangat patuh ada timbangan rasionalitas.
Setegang apapun masalah itu, rasionalitas mestilah dinomorsatukan.
Keempat, di samping berhasil memenangkan citra politik sebagai tokoh visioner,
SDK memang pantas menyandang predikat itu. Kesanggupannya memproyeksikan banyak
hal kiranya cukup menjadi alasan mengapa alumni Lemhanas ini patut disebut
visioner.
Apakah ini merupakan garis tangan? Ya, SDK memang memiliki garis tangan
sebagai sang visioner. Tapi di saat yang sama, lebih dari separuh jejak
hidupnya dipadatkan dengan dua talenta; kerja keras dan kerja cerdas.
Kelima, SDK bukan malaikat. Demikian komentar seorang politisi senior
Almalik Pababari jelang Pilkada Mamuju, 2015 lalu. Ia juga manusia yang kerap
kali mengalami pahit getir kehidupan. Dalam kebiasaan menghadapi kesusahan
hidup itu, ia memilih jalan lain. Namanya, kebahagiaan.
Konteks kebahagiaan yang dianutnya berpijak pada dimensi ruang kekinian.
Bukan angan-angan yang serba jauh di pelupuk mata. Ia mengejar ambisi sekaligus
menggenggam tali tasbih kebahagiaan. Bukan dengan membiarkan timbunan derita
harus datang menghampiri lebih awal.
Cendekiawan Muslim, Jalaluddin Rakhmat, pernah menanyakan; apakah
kebahagiaan itu takdir mutlak atau pilihan alias dapat diikhtiarkan? Ia memberi
jawaban, bahwa kebahagiaan bukanlah hal yang diterima dengan sikap serba pasif.
Sebaliknya, kebahagiaan adalah pilihan hidup.
Maka dengan kesanggupan memilih jalan hidup penuh bahagia, wajar jika SDK
sukses dengan apa yang dicita-citakannya. Plus dengan ketenarannya yang megah
berkibar menjulang ke angkasa.
Keenam, ketika anda dianugerahi kecerdasan emosional tinggi, anda akan tahu
bagaimana memanfaatkan seluruh potensi ke arah yang lebih maju. Pada posisi ini
SDK mampu menempatkan diri dalam berbagai segmen kehidupan.
Satu waktu anda akan menemukan mantan Bupati Mamuju ini layaknya orang tua
yang sangat disegani. Namun di suasana yang lain, SDK akan dikenang sebagai
pria yang tak pernah 'mati gaya'. Ketika rekan seusianya masih menghafalkan teks lagu sekelas Broery
Marantika, Tommy J. Pisa dan Eddy Silitonga, SDK telah berdiri di atas panggung
konser dengan dentuman musik berkelas country maupun Rock n Roll.
Ketika rekan seperjuangannya masih berkisah seputar kerasnya perjuangan masa
silam, dirinya justeru tengah menatap masa depan dalam berbagai sudut pandang. Ketika seluruh yang dimiliknya saat ini sangat memungkinkan untuk
memanipulasi pikiran rakyat lewat tulisan di berbagai media, ia justeru memilih
jalan kemurnian, sebagai usaha dan konsistensi menautkan pesan yang sebenarnya
di benak pembaca. Di saat semua orang bertanya, tentang arah dan tujuan masa depan, SDK telah
siap dengan jawaban menukik: Ini Jalan Kita!
Ketujuh, SDK tahu betul betapa etos belajar itu tak boleh dipagari oleh usia
dan predikat sosial. Maka jangan heran jika dalam setiap perbincangan, ia acap
kali melontarkan gagasan-gagasan segar dan praktis.
SDK memang bukan ilmuan. Ia juga bukan seorang tukang hapal pada berbagai
teori serta rumusan keilmuan.
Frame pengetahuannya mampu menangkap anasir-anasir realitas lalu disemaikan
lewat simpulan sederhana dan aplikatif. Dengan racikan pemikiran itu, ia mampu
menerapkan secara lebih praktis. Jika tak tahu ia bertanya, jika tahu, ia
sampaikan.
"Jika tak mampu menjadi orang pintar, jadilah orang baik".
Demikian pesan SDK yang berulang kali disampaikan saat baru saja pulang dari
Harvard University, Amerika hingga memasuki medio 2012.
Dengan kalimat pendek itu, sesungguhnya telah mewakili banyak item yang
menuntut aparatur negara agar mengedepankan ketulusan di atas segalanya. Sebab
semua orang boleh jadi pintar, tapi tak banyak yang mampu bertahan dengan
ketulusannya.
Inilah kamus kecerdasan emosional SDK. Maka, catatan bersusun 28 paragraf
ini sangat mungkin terbaca politis di tengah kemaruk isu politik yang saling
menumbangkan citra satu sama lain. Itu wajar. Didebat pun tak mengapa. Bagi
saya, bukanlah suatu penghalang apalagi ingkar pada bentang sejarah kehidupan
setiap orang. Terhadap SDK sekalipun!!!
Selamat Ultah Pak SDK, Gubernur ki, Kun Fayakun...
Komentar