Bicara
pembangunan hari ini, seabrek gagasan serta ide saling bertemu dalam berbagai
forum baik formal maupun informal. Sedemikian menggiurkannya, hingga objek
perbincangan yang khas bertema pembangunan plus kebijakan publik itu kerap
melibatkan banyak pihak. Untuk tak menyebutnya telah terlanjur serampangan
dibincangkan.
Sesungguhnya
hal ini tidaklah prinsip untuk diperdebatkan lebih lanjut. Namun yang menjadi
pertanyaan adalah sejauh mana tindak lanjut dari seluruh konten bertema
pembangunan itu bakal berujung? Ataukah masih harus kandas dalam lanskap
pemikiran saling menggerutu dan meratapi antar stakeholder?
Sekujur
tubuh tulisan ini hendak kembali menyambungkan semangat dan kreativitas sejumlah
anak-anak muda di Sulawesi Barat yang secara berkesinambungan, untuk mengentalkan
makna pembangunan sebenarnya. Pun hendak memberi penegasan sahih bahwa untuk
bicara masa depan, kita butuh cerminan masa lalu. Atau sekurang-kurangnya kita
mendambakan pijakan yang jelas agar tak tersungkur pada kesalahan yang tak
termaafkan.
Sebutlah
dari mereka di antaranya, Bung Zakir Akbar, Nehru Sagena, Yohanis Piterson,
Fahri Yusuf, Syawqi, Irfan serta banyak lagi. Mereka adalah sedikit di antara
komponen anak-anak muda di Sulbar yang mencoba mencairkan kebekuan berpikir,
memudahkan hal pelik lewat program yang dicetuskannya: Sistem Informasi
Pembangunan Berbasis Masyarakat (SIPBM). Melalui program ini, mereka menarik
satu kesimpulan mendasar, bahwa kemajuan pembangunan mestilah memiliki alat
ukur yang jelas. Karenanya, kita butuh data, agar tak sekedar berkata-kata
tanpa fakta, tanpa makna.
Melalui
program SIPBM ini, kebijakan dapat ditakar sedemikian rupa. Bagi mereka yang
memiliki sumber daya kritis-solutif terhadap kebijakan pemerintah, tentu data
SIPBM ini layak dipertimbangkan. Sistem informasi yang menggunakan basis data by name by address ini diakui telah
mampu menjawab sejumlah aspek yang dibutuhkan, khususnya bagi para pemangku
kebijakan.
Berdasarkan
data SIPBM 2013, tim fasilitator telah berhasil menguak data dari 4 kecamatan
intervensi. Yaitu Kecamatan Aralle, Bambalamotu, Pamboang dan Tapalang. Hasilnya?
Dari aspek pendidikan, sebanyak 33,4 persen penduduk usia 15 tahun ke atas
masih berpedikat tamatan SD atau sederajat. Sementara bagi mereka yang sama
sekali belum sekolah, atau tidak sekolah ataupun tidak tamat SD sebanyak 20,8
persen.
Jika
ditelisik lebih dalam alasan di balik pilihan untuk tidak sekolah, apa alasannya?
Sekali lagi, data SIPBM memberikan jawaban beralas data. Bahwa, sebanyak 59,6
persen penduduk usia 7-18 tahun memberi alasan tidak ada biaya. Kemudian 26,7
persen memberikan jawaban lugas; tidak mau sekolah. Sementara terdapat 4,5
persen penduduk tidak sekolah dikarenakan hambatan tanggung jawab rumah tangga.
Alias terlanjur menikah.
Agaknya,
kita pun belum dapat berbangga hati ketika disodorkan data penduduk yang belum
memiliki kecakapan aksara latin. Karena faktanya, masih tersisa 10,0 persen
penduduk yang belum cakap untuk soal yang satu ini. Belum lagi dengan aksara
arab. Terbukti, 20,0 persen penduduk belum cakap membaca aksara arab. Jika hal
ini dipertautkan dengan program bebas buta aksara alQuran yang selama ini
digemakan oleh pemerintah, maka data ini kembali memberikan tantangan. Sanggupkah
kita menuntaskan angka 20,0 persen itu?
Demikian
halnya dengan aspek kesehatan. Dari data SIPBM, ditemukan sebanyak 52,1 persen
penduduk yang melakukan Buang Air Besar (BAB) bukan di Jamban. Kondisi ini
mengisyaratkan bahwa masa depan kesehatan warga di Sulawesi Barat sesungguhnya
masih memerlukan penanganan khusus.
Data-data
yang termuat di atas tentu masih dalam cakupan yang terbatas. Sebab hanya
mewakili 4 Kecamatan intervensi saja. Artinya, tugas dan tanggung jawab untuk
menggenjot arah dan kebijakan pembangunan masih harus didudukkan dengan
sebaik-baiknya.
Pertanyaannya,
lalu bagaimana dengan daerah yang belum tersentuh SIPBM? Di sinilah, peran
pemerintah untuk membuka nalar objektifnya bahwa gagasan SIPBM patut
diapresiasi, atau lebih tegasnya diadopsi sebagai bagian dari format
pengambilan kebijakan lebih lanjut.
Kita
ketahui selama ini, perdebatan yang kerap muncul saat pemerintah mencetuskan
programnya masih cenderung didominasi oleh pertimbangan subjektif dominan saja.
Tanpa mengurai alasan di balik urgensi kebijakan tersebut.
Lebih miris lagi,
ketika program pemerintah provinsi bernasib kembar dengan program yang ada di
Kabupaten. Mengapa? Di samping karena faktor minus kreativitas, juga lebih
disebabkan oleh tidak adanya data yang yang menjadi panduan dalam menyusun
program kerja tiap-tiap SKPD.
Rabu 4 Februari 2015, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat menggelar
Sosialisasi dan Advokasi Program SIPBM. Sejatinya, kegiatan ini menjadi
momentum untuk menjadi tali tasbih dalam
setiap kebijakan nantinya. Kita mengapresiasi program SIPBM ini, karena kita
percaya, tanpa data kita tak layak tampil jumawa. Tanpa data, kita bukan
siapa-siapa. (nsi)
Telah diterbitkan di harian Radar Sulbar edisi 4 Februari 2015
Komentar