Langsung ke konten utama

Mewaspadai Kegagalan Dakwah Ramadhan

Kehadiran bulan suci Ramadhan tidak saja menjadi “gerbang besar” bagi terbukanya kesadaran spiritual Umat Islam untuk kembali kepada kesejatian identitasnya sebagai makhluk fitrawi, namun juga di dalamnya memunculkan beragam aktivitas yang tak lazim ditemukan di luar bulan mulia ini. Salah satunya, adalah dengan fenomena tingginya intensitas umat Islam dalam menerima sajian rohani, yakni ceramah Islamiyah.
Hal ini, membuat serta merta para Muballigh untuk segera menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat yang cukup padat tersebut. Jika sebelum bulan suci Ramadhan, para Muballigh hanya mengisi jadwal rutin berupa Khutbah Jumat, dan sesekali mengisi ceramah Takziyah serta beberapa peringatan hari-hari besar Islam, maka di bulan suci ini, para Muballigh dituntut agar lebih intens lagi dengan mengisi ceramah pada setiap malam selama sebulan penuh.
Bukan hanya itu, Muballigh juga masih memiliki kewajiban lain, di antaranya: Berceramah di subuh hari, Jelang buka puasa bersama, dan acara Tarawih bersama. Dapat dibayangkan, betapa sibuknya aktivitas para Muballigh di bulan suci Ramadhan ini.
Bersamaan dengan itu, para Muballigh memiliki kewajiban yang lain, yakni agar tetap memiliki persiapan yang matang sebelum tampil di depan umat. Di samping butuh kesiapan fisik yang prima, juga dituntut agar mampu menyajikan siraman ruhani tanpa menimbulkan kesan yang monoton dan menjenuhkan bagi para jamaah.
Jika merujuk pada fenomena Muballigh (khususnya di Makassar), maka setidaknya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipologi, berikut dengan plus minus yang disandanganya. Ketiga tipologi tersebut, yaitu:
Pertama, Muballigh yang menyampaikan dakwahnya dengan didominasi oleh penyampaian ayat Al Qur’an dan Hadis serta beberapa pandangan ulama. Tipe ini mewakili unsur Muballigh yang berlatar belakang dari dunia kepesantrenan dan alumni timur tengah, serta lekat dengan kefasihan berbahasa Arab. Kelebihan mereka tentu ada pada penguasaan dasar-dasar pemahaman Agama Islam. Namun kelemahannya, sistematika penjelasannya terkadang monoton dan kurang sistematis. Sehingga jamaah merasa jenuh menyimaknya. Boleh jadi, apa yang disampaikan sangat berharga, namun dikarenakan oleh kurangnya gaya komunikasi yang inovatif, maka mereka dianggap konservatif, atau kurang selaras dengan tuntutan zaman.
Kedua, Muballigh yang menyampaikan dakwahnya dengan beragam pandangan dan pendekatan yang sangat akademik. Tipe ini mewakili unsur Muballigh yang cenderung kurang mapan pada basic keislaman, namun matang dalam persoalan metodologi dan kajian interdisipliner. Boleh jadi mereka bukan berasal dari basis dunia pesantren, namun obsesi yang kuat mengantar mereka menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan masa depan agama Islam.
Juga tidak menutup kemungkinan, di antara mereka berasal dari basis pesantren, namun, lebih gemar terhadap pengembangan wacana keislaman yang lebih beragam dan sistematis. Sisi kelebihan tipologi yang kedua ini, tampak pada beragam pendekatan yang digunakan. Sehingga amat terasa betapa ajaran Islam sangat selaras dengan konteks kekinian, menghubungkan lintas pemikiran timur dan barat, dan senantiasa mampu menjawab setiap persoalan umat manusia sepanjang zaman. Sayangnya, terkadang tipologi ini justeru mengantar pada pemahaman keagamaan yang mengambang ke mana-mana, disebabkan oleh penggunaan kosakata yang hiperbolik dan metaforis, dengan durasi yang terburu-buru, sehingga tidak satupun blue print dari hasil ceramah yang dapat menjadi “kado semalam” di bulan Ramadhan.
Ketiga, Muballigh yang memiliki basic keislaman standar, serta analisa yang kurang mendalam terhadap setiap persoalan keumatan, namun memiliki kecakapan retorika yang mumpuni. Indeks al-Qur’an-Hadis, pendapat singkat para ulama dan cendekiawan, menjadi referensi subjektif dakwah yang disampaikan. Dan media massa (berita dan infotaiment) dikonsumsi tanpa pendalaman analitik, sebagai referensi objektifnya. Selebihnya, tradisi mengkaji setiap persoalan secara mendalam tak terlihat jelas dalam aktivitas mereka.
Tipologi ketiga ini juga tidak memiliki beban sakralitas dakwah, sebagaimana yang kerap dialami oleh para Kiai. Mereka juga tidak terbebani dengan wacana keislaman kontemporer. Di saat para Kiai tampil dengan aura kekhusyu’an dan daya magic-kharismatiknya, mereka justeru tampil dengan aksesoris yang berdasar pada selera pasar. Di saat para akademisi tampil dengan kosa kata yang kurang populis, mereka justeru tampil dengan gaya kocak dan lucu, sekalipun tidak relevan dengan konten dakwah yang disampaikannya.
Di pundak merekalah, istilah Muballigh pop disematkan. Di pundak mereka pula, pameo “Ustaz juga manusia” (baca: harap dimaklumi) terlahir. Bila para Ulama dirindukan oleh Jamaah, maka Muballigh pop dirindukan oleh Fans-nya.
Ajaibnya, dengan modal pop tersebut, para Muballigh dengan tipologi yang ketiga ini ternyata lebih eksis menembus setiap sudut kota, memberi seruan agama kepada level masyarakat yang secara ekonomi terbilang menengah ke bawah. Pada merekalah, sejumlah problem keagamaan umat manusia ditangani secara instan, walaupun tak jarang menimbulkan masalah baru.
Dalam perkembangannya kemudian, kita menemukan adanya sajian dakwah yang lebih didominasi oleh aspek lelucon plus penggunaan istilah yang kurang etis, daripada subtansi dakwah yang disampaikan. Para jamaah akhirnya pulang ke rumah hanya berbekal cerita-cerita lucu dari para Muballigh, tanpa ada bekas yang menyentuh ruang batin mereka.
Asumsi yang hingga saat ini kerap diperpegani adalah bahwa publik masih senang dengan konten ceramah yang lucu. Benarkah demikian? Ataukah karena public tak punya pilihan lain?
Pada sisi lain, bila hal ini tak menjadi bagian yang mesti dipikirkan, maka ke depan akan muncul beragam fakta yang lebih menyedihkan, bahwa umat Islam akan makin jauh dari subtansi paham keagamaan yang samestinya diketahui.
Untuk meretas persoalan ini, kiranya kita perlu memetakan indikator keberhasilan suatu dakwah, sebelum jauh berbicara tentang pertimbangan etika dan metode dakwah yang didominasi oleh beragam humor yang menggelikan itu. Beberapa pertanyaan bernada menggugat antara lain:
Apakah dakwah yang disampaikan selama bulan ramadhan benar-benar akan sampai pada tujuan yang semestinya dicapai? Ataukah masih sebatas melepas wacana ideal saja? Apakah sajian dakwah Ramadhan mampu menjadi “alat bedah” atas sekian banyak problem kemanusiaan yang dihadapi oleh umat Islam? Atau malah sebaliknya, dengan menyelesaikan satu persoalan, lalu memunculkan problem lainnya yang justeru jauh lebih rumit lagi? Apakah dakwah yang disajikan selama sebulan penuh mampu membentuk karakter umat Islam? Atau justru sebaliknya, malah makin membentangkan sayap-sayap pertentangan antar sekian banyak penafsiran?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, disadari, tentu bukan hal yang mudah. Sebaliknya, bila pola dakwah menjadikan “semangat parodi” sebagai subtansi, tentu juga merupakan mimpi buruk bagi masa depan umat Islam, sekaligus borok yang harus ditanggung oleh seluruh Muballigh.
Maka, setelah kita melakukan kategorisasi sebelumnya, agaknya kita butuh sosok Muballigh alternatif dengan karakter yang melampaui ketiga tipologi di atas. Karakter alternatif yang dimaksud adalah hadirnya sosok Muballigh yang di samping mapan pada basic keislaman, mampu berbicara dalam perspektif interdisipliner, serta lihai memainkan retorika atas nama selera pasar, juga mampu membidik setiap keresahan jiwa umat manusia, serta tetap kokoh berdiri tegak di tengah kegamangan spiritual.
Dialah muballigh yang senyumnya adalah anugerah, diamnya sebagai teguran dan seruannya sebagai rebutan.
Pada diri Sang Muballigh alternatif, kewaspadaan akan gagalnya dakwah Ramadan bakal terjawab, dengan puspa ragam untaian kata penuh hikmah, membasahi seluruh padang sahara nurani yang kerontang. Sang Muballigh alternatif, kepadanya kita sematkan harapan, agar Ramadhan kali ini dapat mengantar kita menuju karakter bangsa yang Muttaqin.

*Telah diterbitkan di harian tribun-timur edisi 14 Agustus 2010, dengan beberapa item perubahan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa