Langsung ke konten utama

Pelajaran Penting Bagi Golkar

Hasil real count ataupun quick count pemilu tahun ini benar-benar memunculkan banyak kejutan. Betapa tidak, Partai Demokrat yang selama ini tidak begitu diunggulkan, tiba-tiba melenggang menjadi partai yang begitu percaya diri dalam menempatkan SBY sebagai kandidat presiden mendatang. Bahkan, menurut pandangan para pengamat, tanpa bergandengan dengan JK-pun, SBY masih tetap menjadi figur pemimpin terbaik.

Begitu berharganya posisi nilai tawar partai demokrat saat ini, membuat partai berlambang pohon beringin tampak ciut, tak berdaya. Hingga, sekedar untuk berbicara martabat partaipun sudah enggan untuk dibicarakan. Tidak hanya itu, Jusuf Kalla yang juga sebagai Ketua Umum Partai Golkar, yang sebelumnya digadang-gadang akan diususlkan menjadi Capres pada pilpres mendatang, kini telah surut dan mulai gamang untuk dipublish ke publik.

Beberapa bukti-bukti lain juga turut mendukung. Salah satunya adalah di saat partai-partai lain sedang memainkan konsolidasi bargaining antar partai, semisal PDIP, PKS, Gerindra, Hanura, PPP dan partai lainnya, Golkar seolah malah mengurung diri dalam kamar, tidak siaga dalam menentukan partai mana yang paling cocok untuk dijadikan sebagai teman sejawatnya pada periode lima tahun mendatang.

Dengan kondisi Partai Golkar yang cukup gamang tersebut, sedikit banyaknya telah menjadi kehilangan orientasi. Partai yang selama ini dianggap sebagai yang memiliki kultur kepemerintahan (atau lebih tepatnya kekuasaan), kini telah tumbang.

Pertanyaannya kemudian, ada apa sebetulnya dengan kondisi partai golkar saat ini? Mengapa partai yang selama ini dianggap memiliki mobilitas tinggi, tiba-tiba ambruk dan tampak tidak berdaya?

Sebagai akademisi sekaligus yang berada di luar struktur golkar, saya mencoba mengurainya dengan sebuah kesimpulan awal bahwa partai golkar saat ini sedang mengalami masalah yang cukup akut, dan terlalu kusut untuk dibentangkan. Mengapa demikian?

Pertama, bagi saya, Partai Golkar merupakan partai yang menggemaskan sekaligus mencemaskan. Dikatakan demikian, karena selama ini, di tangan partai golkarlah detak jantung kesejahteraan rakyat ditentukan. Tengoklah pada setiap sidang yang dihelat di lembaga perwakilan rakyat (DPR(D). Dengan system vooting yang selama ini ditradisikan, partai golkar kadang kala mampu menjadi the single fighter sekaligus the winner pada setiap pengambilan keputusan politik.

Nah, karena selama ini Golkar merupakan The winner, maka kitapun harus mengakui, bahwa sederet tangisan pilu bangsa selama ini juga tidak lepas dari tanggung jawab Golkar. Apa artinya? Bahwa sudah saatnya golkar meyegarkan kembali perubahan paradigma barunya yang selama periode Akbar Tanjung telah mengampanyekan partai golkar sebagai partai yang telah berhijrah menuju paradigma baru.

Entah apa yang menjadi subtansi perubahan paradigma tersebut, bagi saya, yang lebih penting adalah upaya yang tulus dari internal partai golkar untuk mengubah moral politik menjadi lebih santun dan bersahaja, sekaligus memelopori sikap politik yang mengedepankan moralitas.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa eksistensi golkar saat ini tidak ada artinya lagi. Bahkan saya menganggap bahwa golkar merupakan partai yang memiliki mekanisme paling mapan sekaligus menjadi cerminan partai-partai lain dalam membentuk frame awal partainya. Akan tetapi, yang perlu untuk dipertegas yakni, terobosan baru dalam lingkup partai golkar dengan membuka mata lebar-lebar, bahwa realitas politik hari ini tidak lagi sama dengan politik di masa orde baru. Yang dibutuhkan hari ini adalah komitmen moral dalam mengawal masa depan bangsa dengan cara yang lebih baik.

Kedua, secara objektif harus diakui bahwa dalam penentuan calon legislatif baru-baru ini (dan juga sebelumnya), mesin kaderisasi tidak berjalan secara optimal. Hanya dengan alasan figuritas dan senioritas, para caleg golkar dengan bebas melenggang menjadi “artis dadakan”, dengan kegandrungan memasang baliho di setiap sudut jalan.

Entah sadar atau tidak, partai golkar seolah tidak memahami aspek personal branding, meminjam istilah Effendi Ghozali. Padahal aspek pencitraan personal inilah yang lebih penting. Karena tentu secara logis dan etis, rakyat akan memilih para caleg yang memiliki kapasitas dan terhindar dari perilaku buruk, semisal kegandrungan dalam melakukan “gerakan penghadangan” proyek di setiap SKPD.

Akibat fatal dari kebijakan tersebut, sejumlah tokoh yang memiliki kapasitas merasa enggan untuk bergabung bahkan risih walau sebatas menyambangi partai golkar. Kondisi ini semakin memperjelas jawaban bahwa partai golkar telah begitu jauh dari akar rumput, dan yang pasti, tidak lagi simpatik di mata publik.

Ketiga, terkait dengan isu pencalonan Jusuf Kalla sebagai Presiden, juga menjadi bagian penting dari hal yang mesti digali secara cermat di internal Golkar. Kita tentu tidak berbicara persoalan layak atau tidaknya. Bukan pula berbicara pada aspek geo politik, jawa vs luar jawa. Namun figuritas SBY dengan sejumlah kebijakan populisnya telah mampu menghipnotis rakyat Indonesia (apalagi Guru, Pegawai, dan Pensiun), dan melampaui popularitas JK. Dengan personal branding yang cukup perfect pada diri SBY, akan tetap menjadi alat pemikat, bahwa mantan Menkopolkam di era Megawati ini masih menjadi pilihan yang terbaik di masa mendatang, meskipun tidak akan dicalonkan oleh partai Demokrat.

Apa pelajaran yang dapat ditarik dari semua ini? Ialah, sudah saatnya partai golkar untuk mencoba membuka ruang selebar-lebarnya bagi siapapun untuk menjadikan golkar sebagai “villa” yang nyaman untuk dijadikan sebagai tempat berteduh bagi siapapun. Artinya, ke depan, Golkar mestinya tidak dengan gegabah dan berkeras hati untuk tetap merasa besar, hingga dengan begitu percaya diri mencalonkan figurnya, sekalipun bagi masyarakat, tidak layak untuk difigurkan. Bukan hanya pada level calon presiden, tapi juga pada proses pemilihan gubernur hingga Bupati dan walikota di masa mendatang.

Demikian pula sebaliknya, pragmatisme politik golkar yang selama ini senang meminang para elit kekuasaan dan langsung menjadi pemegang tahta di tubuh golkar juga tidak usah dilestarikan. Karena akan mengaborsi semangat idealisme partai, regenasi, dan pencitraan di mata publik.

Karena itu, ada sejumlah isu penting untuk menjadi kajian penting, atau lebih tepatnya disebut pelajaran penting, antara lain:

Pertama, Partai golkar dengan segala bentuk kebesaran dan kewibawaannya, hendaknya mencobakan alternatif baru untuk melakukan proses transformasi kekuasaan politik pada kalangan yang lebih energik dan berkapasitas intelektual, yakni kaum muda lagi cerdas. Tidak lagi berambisi untuk selalu mewariskan titah politik pada figur lama yang sekedar beralaskan figuritas dan otoritas, apalagi tirani.

Kedua,
pada level nasional, seyogyanya berlapang dada menerima kemenangan Demokrat. Bagaimana bentuk pengakuan tersebut? Jawabnya, sebaiknya JK dengan komitmen budaya “siri’” yang telah mendarah daging pada dirinya, bersedia untuk “rujuk” kembali, setelah Ketua Dewan Penasehat Golkar, Surya Paloh, mencoba “mencampakkan” partai Demokrat, Januari lalu di Bali (golkar.or.id).

Akhirnya, pengumuman KPU memang belum berlangsung, namun paling tidak, hasil real count maupun quick count telah menjadi soft copy akan nasib masa depan golkar di parlemen setelah pengumuman resmi nantinya. Untuk golkar, Pemilu 2009 merupakan pelajaran tak berdurasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa